Samarinda – Perhatian terhadap krisis lingkungan di Kalimantan Timur kini mendapatkan respons serius dari legislatif. DPRD Kaltim resmi membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas Raperda Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Daerah (PPPLD), sebagai sinyal kuat dimulainya reformasi kebijakan lingkungan yang lebih adaptif terhadap tekanan pembangunan.
Pembentukan Pansus ini diputuskan dalam Rapat Paripurna ke-23 yang digelar, Senin 21 Juli 2025. Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menegaskan bahwa regulasi ini bukan sekadar pelengkap formalitas, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan daya dukung lingkungan yang kian terkikis.
“Ini bukan sekadar agenda formal. Raperda ini penting untuk menjaga arah pembangunan agar tidak terus menggerus daya dukung lingkungan,” tegas Hasanuddin saat memberikan keterangan usai sidang.
Pansus PPPLD dipimpin oleh Guntur dari Fraksi PDI Perjuangan sebagai ketua, dan Baharuddin Demmu dari Fraksi PAN-NasDem sebagai wakil ketua. Mereka akan memimpin pembahasan intensif selama tiga bulan ke depan, dengan target menyusun draf final yang mencerminkan kebutuhan ekologi dan masyarakat.
“Kalau perda ini kuat dan substansial, maka ini akan jadi titik balik tata kelola sumber daya alam kita,” ujar Guntur, menunjukkan komitmennya untuk tidak membuat produk hukum yang hanya normatif.
Komposisi Pansus ini mencerminkan representasi lintas fraksi besar. Fraksi Golkar mengutus empat anggota, yakni Shemmy Permata Sari, Fadly Imawan, Apansyah, dan Budianto Bulang. Fraksi Gerindra diwakili oleh Henry Pailan, Akhmed Reza Fachlevi, dan Abdul Rakhman Bolong.
Dari fraksi lainnya, terdapat Jahidin dan Abdurahman (PKB), Arfan (PAN-NasDem), La Ode Nasir (PKS), serta Husin Djufri (Demokrat-PPP). Keterlibatan luas ini diharapkan memperkuat kualitas pembahasan dan menjamin keberlanjutan regulasi yang dihasilkan.
Menurut Hasanuddin, urgensi dari regulasi ini dilandasi oleh makin kompleksnya persoalan lingkungan di Kaltim. Ia menyoroti pembangunan yang kerap mengabaikan analisis dampak lingkungan secara menyeluruh dan menyebut banyaknya praktik ekploitasi sumber daya alam tanpa perhitungan ekologis yang matang.
“Perda ini harus hidup, bukan normatif. Harus bisa jadi alat kontrol dan sekaligus arah baru pembangunan,” tegasnya.
Selama masa kerjanya, Pansus dijadwalkan melakukan serangkaian konsultasi dan dialog publik dengan pelaku industri, akademisi, masyarakat sipil, dan pakar lingkungan. Metode partisipatif ini dirancang untuk menyerap aspirasi luas sekaligus menjamin akuntabilitas proses legislasi.
Langkah ini menjadi sorotan penting karena Kaltim berada di titik krusial antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan, terlebih dengan statusnya sebagai calon Ibu Kota Negara.
“Tanpa perangkat hukum yang kuat dan berorientasi keberlanjutan, kita akan kehilangan arah dalam menjaga ekosistem kita sendiri,” imbuh Guntur, menyampaikan harapan besar terhadap hasil akhir Pansus ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai laporan menyebutkan penurunan kualitas lingkungan di Kalimantan Timur akibat aktivitas industri ekstraktif, alih fungsi lahan, hingga deforestasi masif. Dengan terbentuknya Pansus PPPLD, publik menaruh harapan pada kebijakan yang tak hanya mengatur, tetapi juga menegakkan perlindungan dan keadilan ekologis secara konkret.
Meski baru memulai proses, sinyal-sinyal progresif dari DPRD Kaltim melalui struktur Pansus ini menumbuhkan optimisme akan lahirnya produk hukum yang berpihak pada keberlanjutan dan masa depan lingkungan daerah.


