Samarinda – Ketergantungan fiskal Provinsi Kalimantan Timur terhadap dana transfer pusat disorot tajam oleh DPRD, menyusul prediksi penurunan fiskal tahun 2026 yang hanya akan mencapai Rp18,78 triliun. Jumlah ini merosot dari kisaran Rp20 hingga Rp21 triliun pada tahun anggaran 2025, menandakan sinyal waspada terhadap stabilitas keuangan daerah.

Proyeksi ini mencuat dalam pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 di DPRD Kaltim. Syarifatul Sya’diah, Ketua Panitia Khusus (Pansus) RPJMD sekaligus anggota Komisi III DPRD Kaltim, menyebutkan bahwa menurunnya pendapatan harus segera ditanggapi dengan upaya serius untuk meningkatkan kemandirian fiskal.

“Kami mendorong pemerintah provinsi untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah. Jangan terus bergantung pada dana transfer. Ini menjadi salah satu usulan Fraksi Golkar,” tegas Syarifatul usai Rapat Paripurna ke-18, Kamis 12 Juni 2025.

Ia mengungkapkan bahwa sektor-sektor potensial seperti pertambangan batu bara, perkebunan kelapa sawit, jasa, hingga industri kreatif belum dimaksimalkan secara optimal. Padahal, kata dia, jika dikelola dengan baik melalui BUMD dan perangkat kebijakan daerah, potensi itu mampu menjadi tulang punggung pendapatan daerah.

“Kalau belanja kita terus tinggi, tapi pendapatan tidak digenjot, ya akan selalu defisit. Kita ingin Kaltim bisa meniru daerah yang sudah mandiri secara fiskal seperti Surabaya atau Jakarta,” ujarnya.

Menurut Syarifatul, kemandirian fiskal bukan semata soal angka, tapi juga soal kedaulatan dalam menyusun arah pembangunan. Ketika daerah punya kekuatan finansial sendiri, maka kebijakan pun bisa dirancang lebih fleksibel tanpa intervensi pusat.

“Kita ini kaya. Tinggal bagaimana caranya pemerintah berani dan serius menarik peluang usaha dan menjadikan BUMD sebagai lumbung PAD yang konkret,” katanya menambahkan.

DPRD juga mendorong adanya reformasi dalam tata kelola fiskal, termasuk perbaikan manajemen BUMD, perluasan basis pajak daerah, hingga menciptakan iklim investasi yang sehat. Hal ini dinilai penting dalam menghadapi tantangan pembiayaan pembangunan lima tahun mendatang.

“Reformasi fiskal ini tidak bisa ditunda lagi. Kalau tidak dimulai sekarang, kita akan kesulitan menutup kebutuhan anggaran untuk pembangunan jangka menengah,” tuturnya.

Penurunan fiskal 2026 menurut DPRD menjadi momentum reflektif bahwa selama ini ketergantungan terhadap dana pusat terlalu dominan. Dengan tantangan ke depan yang semakin kompleks, daerah dituntut kreatif mencari ruang-ruang fiskal baru.

Dalam pembahasan RPJMD 2025–2029, DPRD menekankan bahwa aspek kemandirian fiskal harus menjadi prioritas utama. Perencanaan pembangunan harus berorientasi pada penguatan potensi lokal yang berkelanjutan.

“Kemandirian itu bukan pilihan, tapi keniscayaan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” pungkas Syarifatul.

Silakan Bekomentar
Share.
Exit mobile version