Jakarta – Di tengah meningkatnya risiko bencana, pendekatan ganda berbasis teknologi mutakhir dan warisan lokal kini menjadi sorotan. Dalam konferensi pers bertajuk Edukasi dan Teknologi Penanggulangan Bencana yang digelar di Hotel Santika pada Jumat (23/5/2025), pakar komunikasi kebencanaan Muhamad Hidayat menyerukan pentingnya sinergi antara Artificial Intelligence (AI) dan kearifan lokal dalam strategi nasional menghadapi bencana.

Hidayat menyampaikan bahwa AI telah mulai digunakan oleh BMKG untuk prediksi cuaca dan gempa. Namun, menurutnya, penerapan teknologi ini masih jauh dari optimal. Ia menekankan pentingnya membangun sistem peringatan dini otomatis berbasis machine learning dari data bencana masa lalu untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan respon.

“AI bukan hanya untuk memprediksi, tapi harus menjadi alat evakuasi, logistik, hingga respons cepat saat bencana terjadi,” tegasnya.

Lebih jauh, Hidayat mendesak dibentuknya Pusat Data Nasional AI agar informasi mitigasi menjangkau hingga ke desa-desa. Ia mengingatkan agar jargon “desa tangguh bencana” tidak hanya jadi slogan tanpa dukungan teknologi memadai. “Investasi awal sangat terjangkau. Cukup lima dolar per orang menurut World Bank, jauh lebih murah dari biaya kerusakan pasca bencana,” tambahnya.

Namun, tidak semua bergantung pada teknologi. Hidayat juga mengangkat pentingnya kearifan lokal seperti struktur Rumah Gadang di Sumatra Barat, rumah panggung di Jawa Barat, serta kepercayaan terhadap perilaku hewan sebagai pertanda alam. “Sistem alamiah ini terbukti sejak dulu,” ujarnya.

Dalam presentasinya, ia juga mengusulkan model kolaboratif pentahelix yang melibatkan pemerintah, akademisi, masyarakat, media, dan sektor swasta. “Edukasi kebencanaan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Harus kolaboratif dan masif,” kata Hidayat.

Ia menekankan program SPAB dan PAB sebagai fondasi penting di dunia pendidikan. Sekolah harus menjadi pusat kesiapsiagaan, tidak sekadar ruang belajar. Ia menyebut perlunya keaktifan humas sekolah dalam menyuarakan kampanye kesiapsiagaan.

Di tingkat rumah tangga, ia mendorong penerapan solusi sederhana seperti sumur resapan dan biopori sebagai bagian dari edukasi mandiri. “Banjir itu bukan nasib, tapi kelalaian yang bisa dicegah,” jelasnya.

Meski begitu, tantangan tetap ada. Ia menyoroti lemahnya komunikasi publik terkait potensi gempa megathrust. “Banyak informasi penting hanya berputar di kalangan elite. Masyarakatlah yang seharusnya tahu dan siap. Ini soal kepercayaan dan harus dibantu influencer,” tutupnya.

Silakan Bekomentar
Share.
Exit mobile version