Jakarta – Pemerintah Inggris memperbarui peta kawasan Timur Tengah pada laman saran perjalanannya dengan menuliskan Palestina sebagai negara berdaulat. Untuk pertama kalinya, dua entri baru muncul: “Palestine (West Bank)” dan “Palestine (Gaza)”, menggantikan istilah lama “Occupied Palestinian Territories” yang selama bertahun-tahun menjadi rujukan resmi.

Langkah tersebut menyusul pernyataan Perdana Menteri Keir Starmer pada pekan lalu yang menegaskan pengakuan Inggris atas kenegaraan Palestina, jelang Sidang Umum PBB di New York. Pembaruan dilakukan pada Rabu (24/9/2025) dan tercermin langsung di situs resmi Kementerian Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan (FCDO). Dengan kebijakan itu, Inggris kini berada dalam barisan lebih dari 150 negara yang telah lebih dulu mengakui Palestina.

Perubahan nomenklatur ini menandai pergeseran kebijakan yang bukan hanya simbolik, melainkan juga operasional karena memengaruhi istilah rujukan pemerintah pada dokumen publik.

“Di tengah meningkatnya tragedi di Timur Tengah, kami mengambil langkah ini untuk menjaga harapan perdamaian dan solusi dua negara tetap hidup,” ujar Keir Starmer dalam pernyataan video yang dirilis jelang forum PBB.

Pada laman FCDO, keterangan singkat turut menyebutkan bahwa halaman terkait telah diperbarui dari “Occupied Palestinian Territories” menjadi “Palestine”. Penandaan ini bukan semata kosmetik digital; ia menjadi acuan birokrasi dalam komunikasi resmi, advis perjalanan, hingga penyusunan data statistik lintas kementerian. Selain itu, pembaruan istilah memudahkan pelancong, pelaku usaha, dan organisasi kemanusiaan untuk membaca situasi lapangan sesuai pengakuan diplomatik terbaru dari London.

Para analis memandang kebijakan ini sebagai sinyal kuat ke komunitas internasional di tengah dinamika konflik yang belum surut. Pengakuan formal dari negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, meski tidak otomatis mengubah realitas administratif di Tepi Barat dan Gaza, diyakini dapat menimbulkan efek berantai, baik pada kerja koordinasi kemanusiaan maupun perundingan yang mandek.

Di sisi lain, kritik dari pihak yang menilai langkah ini terlalu dini tetap mengemuka, terutama terkait batas-batas final, status keamanan, dan tata kelola pemerintahan di lapangan.

“Pengakuan itu adalah perangkat politik yang menghidupkan kembali kerangka dua negara. Tanpa insentif semacam ini, proses perdamaian rentan membeku,” kata Dr. Aisha Rahman, peneliti hubungan internasional di sebuah lembaga think-tank berbasis London, seraya menilai bahwa keputusan Inggris berpotensi menekan para pihak untuk kembali ke meja perundingan.

Secara praktis, perubahan pada peta dan nomenklatur akan merambat ke sistem internal, panduan konsuler, dan basis data perjalanan yang digunakan publik.

Pemerintah juga dihadapkan pada kebutuhan harmonisasi istilah antardepartemen, termasuk perdagangan, pendidikan, dan imigrasi. Bagi diaspora Palestina di Inggris, pengakuan ini memiliki bobot psikologis yang tak kecil: nama yang dicantumkan di peta negara tempat mereka berdomisili kini sejalan dengan identitas politik yang mereka perjuangkan.

Bagi para pengamat regional, momentum ini datang bersamaan dengan serangkaian dukungan diplomatik dari sejumlah negara yang dalam beberapa bulan terakhir menyatakan pengakuan, menyalakan kembali diskursus solusi dua negara. Namun, kenyataan di lapangan. Mulai dari situasi keamanan, akses bantuan kemanusiaan, hingga pembangunan institusi tetap akan menjadi ujian utama efektifnya langkah-langkah simbolik dan administratif seperti pembaruan peta tersebut.

Pada akhirnya, pembaruan yang tampak sederhana di laman pemerintah Inggris merangkum pesan yang lebih besar: mengubah istilah dapat membuka ruang baru bagi diplomasi. Apakah ruang itu cukup untuk mendorong negosiasi substantif, hari-hari ke depan akan menjadi penentunya.

Silakan Bekomentar
Share.
Exit mobile version