Jakarta – Prestasi Vladimir Putin sebagai presiden Rusia dikabarkan terancam akibat situasi yang terjadi di sekitarnya, di mana tampak adanya perlawanan terhadap kebijakan Kremlin dalam konteks konflik dengan Ukraina.

Dalam KTT Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) minggu lalu, Vladimir Putin menghadapi insiden serangan drone di Moskow. Pemerintah Rusia melaporkan berhasil menembak jatuh beberapa pesawat tanpa awak di daerah pinggiran kota tersebut.

Kontroversi Pertemuan Putin-Prigozhin: Penilaian

Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, mengonfirmasi bahwa Yevgeny Prigozhin, kepala kelompok tentara bayaran Grup Wagner, masih berada di Rusia. Informasi ini bertentangan dengan pernyataan Kremlin yang menyatakan bahwa pada tanggal 29 Juni, Putin dan Prigozhin bertemu, lima hari setelah terjadi pemberontakan oleh kelompok Wagner.

Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan dalam pertemuan itu, Presiden Putin telah memberikan “penilaian” atas upaya perang Ukraina dan pemberontakan yang dilakukan Prigozhin dan anak buahnya.

Putin: Tantangan Citra Publik

Menurut jurnalis senior Frida Ghitis, pertemuan SCO yang diikutinya disebut-sebut dimaksudkan untuk meningkatkan upaya pembuktian di hadapan dunia internasional bahwa posisinya masih kuat. Namun, dua kejadian ini dirasa membuat Putin perlu untuk mengkalibrasi ulang pencitraannya.

“Berbicara di KTT, Putin mencoba untuk memperkuat pesan yang disampaikan kepada rakyat Rusia, klaim bahwa semua orang Rusia telah mendukungnya,” ujarnya.

“Namun, kenyataannya sangat berbeda. Prigozhin mengklaim militer Rusia tidak menghadapi perlawanan saat mereka merebut Rostov, sebuah kota besar yang berbatasan dengan Ukraina di barat, mengambil alih markas militer di sana dan kemudian berbaris hampir tanpa perlawanan hingga 125 mil dari Moskow.”

Putin: Tantangan Diplomasi Terkini

Ghittis kemudian menambahkan bahwa Putin kembali kehilangan taji saat tuan rumah KTT SCO, Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi, memutuskan untuk mengadakan acara secara virtual, alih-alih membawa para pemimpin ke New Delhi. Menurutnya, kondisi seperti ini menyulitkan orang nomor satu Rusia itu untuk mengungkapkan posisinya.

“Jika bisa menyampaikan kasusnya secara langsung, Putin akan berbicara panjang lebar dengan Modi, Xi, Presiden Iran Ebrahim Raisi, dan lainnya. Itu, alih-alih mengumpulkan kamera selama tiga jam dengan cepat, bisa membantu memperkuat ikatan,” paparnya.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan saat ini disebut-sebut telah melakukan ‘pengkhianatan’ terhadap Putin. Pasalnya, baru-baru ini beberapa kali Erdogan terlihat mengambil keputusan yang mengingkari kesepakatan dengan Putin.

Erdogan: Langkah Kontroversial dan Tersendat

Terbaru, Turki dilaporkan memulangkan Komandan Batalyon Azov ke Ukraina. Langkah ini dianggap sebagai pengkhianatan bagi Rusia. Pasalnya, hal itu mengingkari kesepakatan yang ditengahi oleh Ankara yang berjanji untuk mempertahankan komandan Azov di Turki sampai akhir perang Rusia di Ukraina.

Selain itu, Erdogan setuju meneruskan tawaran Swedia untuk bergabung dengan aliansi militer NATO ke parlemen. NATO sendiri notabenenya adalah rival pertahanan Rusia dan masuknya Stockholm dalam aliansi itu disebabkan serangan Moskow pada Ukraina, yang dianggap telah mengancam keamanan Negeri Scania.

Negosiasi yang dilakukan Erdogan dan Putin terkait kesepakatan biji-bijian Laut Hitam dengan Ukraina yang ditengahi PBB dan Turki masih tersendat.

Negosiasi Kesepakatan Biji-Bijian Laut Hitam

Pada Sabtu pekan lalu lalu Erdogan mengatakan telah menekan Rusia untuk memperpanjang kesepakatan biji-bijian setidaknya tiga bulan dan mengumumkan kunjungan Putin pada bulan Agustus. Kesepakatan sendiri akan berakhir pada 17 Juli mendatang.Di sisi lain, Kremlin mengatakan selama akhir pekan tidak ada panggilan telepon yang dijadwalkan dan tidak ada kepastian tentang pertemuan kedua pemimpin tersebut.

Kantor berita Rusia RIA melaporkan negosiasi antara kedua kepala negara menjadi satu-satunya harapan untuk memperpanjang kesepakatan biji-bijian Laut Hitam yang akan berakhir pekan depan.

Kesepakatan Laut Hitam antara Rusia dan Ukraina telah ditengahi oleh PBB dan Turki pada Juli 2022. Ini bertujuan untuk mencegah krisis pangan global dengan membiarkan biji-bijian Ukraina dapat diekspor dengan aman dari pelabuhan Laut Hitam meski serangan Rusia masih berjalan.

Silakan Bekomentar
Share.
Exit mobile version