Jakarta – Di tengah dinamika politik nasional yang semakin kompleks, Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian menegaskan kembali bahwa setiap kepala daerah wajib mendukung pelaksanaan Program Strategis Nasional (PSN). Ia menilai loyalitas terhadap kebijakan nasional merupakan indikator utama keberhasilan kepala daerah dalam sistem pemerintahan yang terintegrasi.
Dalam forum yang mempertemukan para sekretaris daerah dan kepala Bappeda seluruh Indonesia di Jatinangor, Jawa Barat, Selasa 28 Oktober 2025, Tito menekankan bahwa penolakan atau kelalaian dalam menjalankan PSN seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Unggul Garuda, dan Program 3 Juta Rumah dapat berimplikasi serius.
“Program strategis nasional wajib didukung kepala daerah. Ada sanksinya jika tidak mendukung,” ujarnya dengan nada tegas.
Ia menambahkan, mekanisme sanksi bisa langsung dijalankan oleh Kementerian Dalam Negeri tanpa menunggu keputusan DPRD.
Langkah ini merujuk pada aturan yang pernah diterapkan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di mana kepala daerah bisa diberhentikan apabila terbukti mengabaikan kebijakan strategis nasional. Kini, kebijakan serupa kembali ditegaskan seiring dengan 25 PSN baru yang menjadi fokus pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Namun, penegasan tersebut menuai sorotan dari berbagai kalangan akademisi dan masyarakat sipil. Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, mengingatkan bahwa langkah itu berpotensi mengikis semangat demokrasi daerah.
“Jika pemberhentian kepala daerah dilakukan hanya atas dasar penilaian subjektif pemerintah pusat, maka otonomi daerah menjadi semu,” katanya. Menurutnya, mekanisme checks and balances harus tetap dijaga agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tingkat pusat.
Pandangan serupa disampaikan oleh Egi Primayogha dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Ia menilai pelaksanaan PSN kerap tidak mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan lokal.
“Kebijakan dari atas sering kali tidak melibatkan masyarakat daerah. Akibatnya, muncul masalah lingkungan dan konflik sosial karena program tidak sesuai konteks setempat,” ujarnya.
Bahkan sejumlah kepala daerah turut menyuarakan kegelisahan. Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan mengaku kewalahan menjalankan program MBG di tengah kasus keracunan makanan di Kubu Raya dan Ketapang. Ia meminta evaluasi menyeluruh terhadap Badan Gizi Nasional agar pelaksanaan program tidak menimbulkan risiko baru.
Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono X menilai pengawasan MBG di lapangan masih lemah.
“Meski ada sertifikasi higienitas, jika dapur penyedia makanan melayani ribuan porsi dengan peralatan terbatas, kualitas tetap tidak bisa dijamin,” ungkapnya.
Penolakan bahkan datang dari masyarakat adat di Papua Selatan terkait proyek Lumbung Pangan. Tokoh adat Paskalis menilai proyek tersebut berpotensi merampas tanah adat.
“Program nasional seharusnya memberdayakan masyarakat lokal, bukan menyingkirkan mereka dari ruang hidupnya,” katanya.
Di sisi lain, sejumlah pengamat menilai ancaman sanksi dan pemberhentian kepala daerah menunjukkan pola pemerintahan yang kembali sentralistik. Herdiansyah menilai pendekatan seperti ini mencerminkan gaya kepemimpinan militeristik yang kurang sejalan dengan semangat reformasi.
“Jika semua harus tunduk tanpa ruang diskusi, maka prinsip pemerintahan sipil menjadi kabur,” tegasnya.
Kritik tersebut menggambarkan adanya ketegangan antara idealisme otonomi daerah dengan ambisi keseragaman kebijakan pusat. Meski demikian, Tito menilai keselarasan antara pusat dan daerah justru diperlukan agar PSN berjalan efektif dan membawa manfaat langsung bagi masyarakat.
Dengan langkah ini, pemerintah pusat tampaknya berupaya memastikan bahwa program nasional tidak hanya menjadi wacana politik, tetapi benar-benar terealisasi hingga ke daerah-daerah. Namun, perdebatan mengenai batas kewenangan pusat dan hak partisipasi daerah tampaknya masih akan terus berlangsung dalam perjalanan pemerintahan ke depan.


