Samarinda – Bara konflik agraria kembali berkobar di tanah Borneo. Kali ini, Sutarno, warga RT 27 Kelurahan Handil Bhakti, Kecamatan Palaran, mengklaim lahannya seluas 4 hektare telah digarap tanpa izin oleh PT Insani Bara Perkasa (IBP). Pria itu menyebut aktivitas penambangan sudah dimulai sejak 6 Juni 2023, tanpa proses jual beli maupun kompensasi resmi.
Lahan tersebut, menurut Sutarno, memiliki empat Sertifikat Hak Milik (SHM) atas namanya yang telah terbit sejak 1992. Ia menegaskan seluruh aktivitas penggalian dan pengambilan material batu di lokasi tersebut dilakukan tanpa sepengetahuannya, dan kini lahannya hanya menyisakan genangan air layaknya danau.
“Tanah saya itu sudah digarap habis. Batunya sudah diambil, tinggal jadi danau. Tidak ada pembicaraan, padahal saya punya sertifikat dan dokumen lengkap,” kata Sutarno dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang difasilitasi Komisi I DPRD Kaltim, Senin 26 Mei 2025.
Sutarno mengaku telah menyampaikan laporan ke kelurahan hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun karena tidak mendapat respons yang memadai, ia akhirnya mengajukan permohonan mediasi ke DPRD.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Agus Suwandy, menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen mencari solusi damai dan adil untuk kedua belah pihak.
“Kami sudah memfasilitasi pertemuan ini. Karena memang Pak Sutarno punya SHM, maka kami arahkan agar penyelesaiannya masuk ke ranah ganti rugi atau jual beli. Tinggal kesepakatan harga saja yang belum cocok,” jelas Agus.
Agus menyebut mediasi akan dilanjutkan ke tahap negosiasi langsung pada 2 Juni mendatang, karena kedua pihak sudah menunjukkan itikad baik menyelesaikan konflik melalui musyawarah.
Ia juga menambahkan, sengketa serupa sering kali muncul di Kalimantan Timur, terutama di wilayah yang terdampak aktivitas pertambangan. Maka dari itu, menurutnya, sinergi antara warga, pemerintah daerah, dan perusahaan sangat diperlukan agar konflik tidak berkepanjangan.
“Sinergi antara warga, pemerintah daerah, dan perusahaan mutlak diperlukan untuk mencegah konflik agraria berkepanjangan,” ujar Agus.
Sementara itu, pihak PT IBP melalui Joni Piter dari bagian Legal dan Mitigasi, membantah telah menyerobot lahan. Ia mengklaim penggarapan dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis dengan Ketua RT setempat, Effendi, yang menyatakan lahan itu miliknya dengan dasar Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) tahun 2012.
“Kami memiliki perjanjian tertanggal 15 Desember 2022 dengan Bapak Effendi dan memulai aktivitas sejak Maret 2023. Saat Pak Sutarno komplain, kami minta data dan koordinat. Setelah overlay, ternyata lokasi itu termasuk dalam area kerja sama kami,” jelas Joni.
Joni juga menyebut bahwa gugatan perdata yang dilayangkan Sutarno ke Pengadilan Negeri Samarinda telah ditolak karena tidak memenuhi syarat formil, meski sebelumnya sudah melalui proses mediasi.
Dalam keterangannya, Joni juga mengungkap bahwa PT IBP telah membayarkan kompensasi sebesar Rp 4 miliar kepada Effendi untuk lahan seluas 50 hektare yang menjadi bagian dari proyek perusahaan tersebut.
Kasus ini mencerminkan masalah klasik dalam konflik agraria, yaitu tumpang tindih klaim kepemilikan lahan antara individu dengan surat legal, dan pihak lain yang memegang surat pajak atau surat keterangan lokal.
Dengan adanya jadwal mediasi lanjutan, harapan muncul bahwa konflik ini dapat diselesaikan secara damai tanpa eskalasi hukum lanjutan. DPRD Kaltim pun disebut akan terus memantau proses hingga tuntas.

 
		
 
									 
					
