Jakarta – Gelondongan kayu yang menumpuk di pemukiman warga Batang Toru bak “tsunami kayu” menjadi simbol muram rusaknya hutan di hulu. Di tengah kemarahan publik, DPR mendesak pemerintah tak lagi sekadar memanggil perusahaan, tetapi benar-benar menindak tegas para pelaku perusakan lingkungan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, Tapanuli Selatan.
Anggota Komisi XII DPR RI, Ratna Juwita Sari, menilai kerusakan ekologis dan dampak sosial banjir bandang di Batang Toru telah memasuki fase darurat. Ia meminta Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tidak sekadar berpegang pada pendekatan administratif, tetapi menggunakan kewenangan penuh untuk menjatuhkan sanksi.
Ratna menegaskan perusahaan tambang dan perkebunan yang beroperasi di sekitar DAS Batang Toru harus dimintai pertanggungjawaban.
“Kerugian yang muncul sangat nyata. Ini bukan lagi soal dipanggil atau tidak, mereka harus bertanggung jawab. Saya minta pemerintah mencabut izin semua perusahaan yang terbukti merusak lingkungan di kawasan DAS Batang Toru. Begitu juga perusahaan atau pertambangan lain di berbagai wilayah yang jelas-jelas merusak lingkungan,” ujar Ratna, Selasa (2/12/2025) Jakarta.
Ia mengingatkan bahwa negara tak boleh terus-menerus menutup mata terhadap pola bencana ekologis yang berulang. Banjir bandang yang menyeret kayu gelondongan hingga menumpuk di pemukiman dan sungai, setelah hujan lebat dan luapan sungai di Batang Toru pada Selasa 25 November 2025, disebut sebagai alarm keras akan lemahnya pengawasan izin dan aktivitas di kawasan hulu.
“Apa masih kurang warga menjadi korban? Apa masih samar-samar melihat penderitaan warga akibat banjir bandang?” tegas dia.
Ratna menekankan, pemerintah harus memperkuat pengawasan lapangan, menegakkan hukum lingkungan tanpa pandang bulu, dan menutup ruang kompromi antara aparat dengan pelaku usaha yang terbukti melanggar. Menurutnya, momentum “tsunami kayu” ini harus dijadikan titik balik untuk mengevaluasi ulang seluruh izin tambang dan perkebunan di daerah rawan bencana, agar keselamatan warga ditempatkan di atas kepentingan ekonomi sesaat.
Di sisi lain, KLH mengonfirmasi akan memanggil delapan entitas usaha yang diduga turut memperparah dampak banjir di DAS Batang Toru, Sumatra Utara. Pemanggilan ini dilakukan untuk menelusuri asal-usul gelondongan kayu yang terseret arus banjir bandang dan berakhir menumpuk di kawasan permukiman warga serta badan sungai. Delapan perusahaan tersebut bergerak di berbagai sektor, mulai dari perkebunan kelapa sawit hingga pertambangan emas.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menjelaskan bahwa identifikasi awal dilakukan melalui analisis citra satelit di wilayah terdampak.
“Ada delapan yang berdasarkan analisis citra satelit kami berkontribusi memperparah (dampak) hujan ini. Jadi, kami sedang mendalami dan saya sudah minta di Deputi Gakkum (Penegakan Hukum) untuk melakukan langkah-langkah cepat dan terukur,” katanya usai penyelenggaraan Anugerah Proklim Tahun 2025 di Jakarta, Senin 1 Desember 2025.
Hanif menambahkan, temuan di lapangan akan menjadi dasar bagi pemerintah untuk menentukan sanksi, mulai dari perbaikan tata kelola hingga pencabutan izin bila terbukti terjadi pelanggaran serius. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan ragu membawa kasus-kasus berat ke ranah pidana lingkungan, demi memberi efek jera kepada pelaku usaha yang mengabaikan kaidah konservasi.
Bagi warga Batang Toru dan masyarakat di sepanjang DAS lain di Sumatra, harapan kini tertuju pada ketegasan pemerintah dan konsistensi DPR dalam mengawal penegakan hukum lingkungan. Jika desakan pencabutan izin dan sanksi tegas benar-benar dijalankan, tragedi “tsunami kayu” di Batang Toru diharapkan menjadi peringatan terakhir, bukan sekadar babak baru dari deretan bencana yang terus berulang.
