Samarinda – Dugaan pelecehan seksual oleh seorang pembina Pramuka terhadap empat remaja perempuan di Samarinda menyalakan alarm bagi sistem perlindungan anak di lingkungan pendidikan. Kasus ini memantik perhatian publik karena terjadi saat para korban, berusia sekitar 19 tahun, sedang terlibat dalam kegiatan di sekolah almamater mereka.

Insiden ini memicu keprihatinan mendalam di kalangan masyarakat, termasuk para legislator. DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), khususnya Komisi IV yang membidangi pendidikan dan kesejahteraan sosial, menilai kasus ini sebagai cerminan kegagalan sistem pengawasan di ranah pendidikan dan organisasi kepemudaan.

“Pramuka seharusnya menjadi ruang anak-anak belajar nilai kepemimpinan dan kedisiplinan. Kalau terjadi pelecehan, ini merusak semua tujuan baik itu,” ujar Damayanti, anggota Komisi IV DPRD Kaltim, saat ditemui di Kantor DPRD Kaltim, Senin (30/6/2025).

Ia menekankan pentingnya menciptakan ruang aman bagi anak dan remaja dalam setiap kegiatan pendidikan maupun ekstrakurikuler. Damayanti menegaskan bahwa tanggung jawab perlindungan anak tidak bisa hanya ditumpukan kepada sekolah atau satu institusi saja.

“Semua pihak punya tanggung jawab. Tidak bisa hanya dibebankan ke satu lembaga saja. Masyarakat juga harus berperan,” katanya.

Saat ini, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim telah turun tangan sejak laporan awal mencuat. Namun, proses hukum lebih lanjut masih menunggu bukti-bukti yang cukup untuk menjerat pelaku secara resmi.

“Butuh proses dan bukti kuat supaya persoalan ini bisa selesai dengan jelas. Kita semua berharap tidak ada yang ditutup-tutupi,” jelas Damayanti lebih lanjut.

Selain itu, Damayanti menyoroti bentuk pelecehan non-fisik seperti cat calling, yang menurutnya sering diremehkan padahal berdampak buruk terhadap kondisi psikologis korban.

“Bukan hanya soal tindakan fisik. Kalimat-kalimat merendahkan juga bentuk pelecehan,” tegasnya.

Hingga kini, Komisi IV DPRD Kaltim belum memanggil pihak terkait seperti Kwartir Cabang Pramuka maupun dinas pendidikan, mengingat belum adanya laporan resmi yang masuk ke lembaga legislatif tersebut. Namun, kasus ini telah dicatat sebagai isu prioritas yang harus segera ditindaklanjuti.

“Kalau ada laporan resmi, kami siap menindaklanjuti. Sekarang kita catat ini sebagai masalah serius,” ucap Damayanti.

Ia menutup pernyataannya dengan imbauan kuat kepada seluruh pihak agar menjadikan perlindungan anak sebagai prioritas utama. Lembaga pendidikan, menurutnya, tidak boleh menjadi tempat yang menimbulkan rasa takut atau trauma bagi peserta didik.

“Sekolah harus menjadi tempat aman, bukan sumber trauma,” tutupnya.

Kasus ini menjadi refleksi penting bagi semua pemangku kepentingan di Kalimantan Timur agar meningkatkan pengawasan dan memperkuat sistem perlindungan anak di setiap lini.

Silakan Bekomentar
Share.
Exit mobile version