Samarinda – Polemik batas wilayah antara Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang kembali mengemuka setelah pernyataan Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris, menyindir langkah Bupati Kutim, Ardiansyah Sulaiman, yang ingin menjadikan Kampung Sidrap sebagai desa definitif. Namun, respons keras datang dari Wakil Ketua Bapemperda DPRD Kalimantan Timur, Dr. Agusriansyah Ridwan, yang menegaskan bahwa langkah tersebut sah dan berdasarkan hukum.
Menurut Agusriansyah, pemekaran Sidrap bukan keputusan mendadak, melainkan bagian dari tahapan yang sudah dirancang sejak lama. Ia menolak anggapan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi menjadikan Sidrap sebagai wilayah status quo.
“Putusan MK itu tidak menyatakan wilayah Sidrap sebagai status quo. Membacanya harus jernih dan komprehensif,” ujar Agusriansyah di Gedung DPRD Kaltim pada Jumat (23/5/2025).
Ia menambahkan bahwa status Kampung Sidrap sebagai bagian dari Kutai Timur memiliki dasar hukum yang kuat, yakni Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 dan Permendagri Nomor 25 Tahun 2005. Penetapan Sidrap sebagai desa definitif, kata dia, adalah hak prerogatif kepala daerah selama memenuhi syarat administratif dan regulasi.
“Legal standing wilayah Kutim itu jelas, termasuk Sidrap. Tidak bisa diklaim hanya karena kedekatan geografis,” tegasnya.
Menanggapi pernyataan Wakil Wali Kota Bontang yang menyebut Bupati Kutim perlu belajar tata kelola pemerintahan, Agusriansyah melontarkan kritik tajam.
“Pernyataan itu tidak etis dan menunjukkan sikap arogan. Ardiansyah punya rekam jejak panjang dalam pemerintahan. Tidak layak pejabat seperti Agus Haris bicara seperti itu,” katanya dengan nada kecewa.
Ia juga mengingatkan agar polemik ini tidak dijadikan ajang saling serang antarpejabat daerah. Menurutnya, Kampung Sidrap bukan wilayah sengketa secara hukum, karena tidak ada dua klaim hukum yang seimbang.
“Jangan gunakan istilah sengketa seenaknya. Itu memperkeruh suasana dan menyulitkan proses mediasi,” ujarnya.
Agusriansyah menekankan pentingnya fokus pada pelayanan publik di wilayah perbatasan. Ia berharap Pemkot Bontang dan Pemkab Kutim mengutamakan kerja sama daripada konflik, terutama untuk urusan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar di Sidrap.
“Warga Sidrap tetap berhak atas pelayanan, tanpa harus terjebak dalam narasi konflik wilayah,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia berharap Pemprov Kaltim bisa menjadi fasilitator yang netral dan efektif dalam proses mediasi batas wilayah ini.
“Kita semua dipilih rakyat untuk melayani. Mari duduk bersama dan bahas dengan kepala dingin. Jangan sampai rakyat jadi korban ego politik,” tutupnya.
Langkah Kutai Timur untuk menjadikan Sidrap sebagai desa definitif dinilai bisa menjadi model dalam pembenahan tata wilayah di Kalimantan Timur. Dengan mengedepankan regulasi dan kolaborasi, konflik batas bisa diminimalisir dan pelayanan publik ditingkatkan.

 
		
 
									 
					
