Samarinda – Anggota Komisi III DPRD Kalimantan Timur, Husin Djufri menanggapi kondisi memprihatinkan di Pulau Maratua dan Derawan, Kabupaten Berau. Dalam kunjungan resesnya, Husin menemukan tiga masalah genting yang mendesak perhatian Pemerintah Provinsi Kaltim: abrasi pantai, lemahnya jaringan telekomunikasi, dan akses transportasi yang belum memadai.
Reses yang dilakukan Husin ke wilayah kepulauan itu membuka tabir betapa kondisi geografis dan pembangunan infrastruktur di ujung utara Kalimantan Timur masih jauh dari ideal. Menurutnya, abrasi pantai kini menjadi ancaman paling nyata bagi warga pesisir, terutama di Maratua, yang terkenal sebagai destinasi wisata bahari unggulan Indonesia.
“Masalah utama di sana sekarang itu abrasi pantai. Kalau tidak segera ditanggulangi, bisa jadi sumber air bersih di Pulau Maratua juga ikut punah. Padahal Maratua dan Derawan ini adalah ujung tombak pariwisata Kaltim,” ujar Husin saat ditemui di Samarinda, Rabu 9 Juli 2025.
Ia menambahkan bahwa abrasi telah memakan area pemukiman warga dan mengancam eksistensi mereka secara perlahan. Husin meminta Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud segera mengambil langkah strategis dengan mengalokasikan anggaran khusus untuk menahan laju abrasi dan menyelamatkan infrastruktur dasar warga.
“Kalau masyarakat terus tergerus oleh abrasi dan tidak ada tindakan nyata, yang akan kita kehilangan bukan hanya destinasi wisata, tapi juga kehidupan di sana,” tegasnya.
Masalah kedua yang disorot dalam reses ini adalah buruknya jaringan telekomunikasi. Warga kampung di Maratua, menurut Husin, sering mengeluhkan sinyal telepon dan internet yang nyaris tidak berfungsi. Hal ini menghambat koordinasi antarwarga, pemerintahan desa, hingga pelaku usaha wisata.
“Usulan reses kemarin rata-rata tentang sinyal. Sinyal lemah menyulitkan koordinasi, baik antarwarga maupun antarinstansi. Ini sangat tidak ideal untuk destinasi wisata kelas dunia seperti Maratua,” ungkapnya.
Selain berdampak pada kehidupan sosial, lemahnya jaringan juga merugikan sektor pariwisata. Dalam era digital, akses komunikasi adalah kebutuhan mutlak, terutama untuk pemesanan wisata, promosi daring, serta keamanan pengunjung.
Masalah ketiga yang tak kalah mendesak adalah transportasi. Meski Maratua telah memiliki bandara, Husin menilai fasilitas tersebut belum mampu menunjang mobilitas karena keterbatasan infrastruktur dan mahalnya biaya transportasi dari dan ke pulau.
“Kita punya bandara di Maratua, tapi kurang berfungsi optimal. Pesawat sulit mendarat dengan layak, padahal resort-resort terus tumbuh di sana. Bandara itu seharusnya bisa jadi pintu masuk utama, bukan sekadar simbol,” ujarnya.
Husin meminta agar Pemprov Kaltim menaruh perhatian lebih serius terhadap kawasan wisata Berau, khususnya Maratua dan Derawan. Ia menekankan bahwa potensi wisata kelas dunia di sana harus disertai dengan penguatan infrastruktur dan kehadiran aktif pemerintah.
“Transportasi di sana terlalu mahal. Pemerintah provinsi harus hadir dengan solusi konkret. Kami berharap ada tim atau satgas khusus yang diturunkan untuk mempercepat penyelesaian tiga masalah utama itu: abrasi, sinyal, dan transportasi,” tururnya.
Jika tiga masalah utama ini tidak segera ditangani, Husin khawatir masa depan wisata bahari Kalimantan Timur akan terhambat. Ia menegaskan bahwa perhatian pemerintah tidak bisa hanya bersifat simbolik, melainkan harus terwujud dalam program nyata dan anggaran yang memadai.
Maratua dan Derawan selama ini dikenal sebagai ikon wisata bahari Indonesia, bahkan telah menarik perhatian wisatawan mancanegara. Namun, tanpa komitmen pembangunan infrastruktur dasar, kawasan ini terancam kehilangan daya saing dan keberlanjutannya sebagai destinasi unggulan.

 
		
 
									 
					
