Samarinda – Di tengah besarnya anggaran pendapatan dan belanja daerah yang menyentuh angka Rp13–14 triliun, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) masih bergulat dengan persoalan infrastruktur. Ukuran wilayah yang luas dan bentang geografis yang kompleks membuat pembangunan fisik di Kukar bagaikan membangun di atas lahan yang terus bergeser.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Firnadi Ikhsan, menyebut bahwa luas wilayah Kukar yang mencapai 27.000 km² menghadirkan tantangan yang tidak sebanding dengan angka APBD.
Ia menyoroti bahwa pertumbuhan pemukiman baru serta kondisi alam, khususnya di wilayah hulu yang didominasi sungai, membutuhkan desain infrastruktur khusus dengan biaya yang tidak sedikit.
“Jalan di wilayah hulu Kukar itu harus dibangun dengan konstruksi khusus, bahkan model failsafe seperti jembatan. Kalau tidak, kita hanya dapat jalan yang putus-nyambung saat air pasang datang,” ujar Firnadi, Jumat (16/5/2025).
Ia mengungkapkan, meskipun pendanaan tergolong besar, banyak proyek tetap menghadapi hambatan teknis dan geografis. Jalan-jalan utama sering kali tak mampu bertahan lama karena desainnya tidak disesuaikan dengan kontur wilayah.
Wilayah hulu Kukar dikenal dengan karakter sungai yang lebar dan deras serta kondisi tanah labil. Proyek jalan di sana kerap memerlukan struktur penyangga kuat yang melampaui standar konstruksi biasa. Bila tidak diantisipasi, kerusakan infrastruktur menjadi langganan tiap musim hujan dan pasang air.
Menurut Firnadi, pembangunan yang tersebar di banyak titik menjadikan efisiensi penggunaan APBD sulit dicapai. Tambahan tantangan datang dari pembukaan akses pemukiman baru yang memperluas beban layanan dasar seperti jalan dan jembatan.
Di sisi lain, masyarakat semakin mendesak peningkatan konektivitas, mengingat Kukar merupakan kabupaten penyangga utama Ibu Kota Nusantara (IKN). Tanpa infrastruktur memadai, Kukar terancam tertinggal dalam menyokong pertumbuhan wilayah nasional strategis tersebut.
Firnadi menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah kabupaten dan provinsi untuk menyusun rencana pembangunan infrastruktur yang berbasis pada tantangan geografis riil, bukan sekadar asumsi teknis umum.
“Pembangunan harus disesuaikan dengan kondisi alam setempat, dan itu butuh intervensi kebijakan serta perencanaan jangka panjang yang matang,” tegas Firnadi.
