Samarinda – Persoalan tak berkesudahan mengenai ganti rugi lahan di kawasan Ringroad I dan II kembali memicu kegelisahan masyarakat Samarinda. Tanah yang telah digunakan untuk pembangunan belum sepenuhnya dibayar, memunculkan pertanyaan besar tentang keadilan dan tanggung jawab pemerintah.
Anggota Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Baharuddin Demmu, menyatakan bahwa pihaknya akan mengawal penyelesaian masalah ini hingga ke pemerintah pusat. Ia menegaskan bahwa rakyat tidak seharusnya dibiarkan menggantung tanpa kepastian hukum dan kejelasan hak atas tanah mereka.
“Tanah ini tidak pernah berpindah. Sampai hari ini tetap dikelola oleh masyarakat. Harusnya rakyat dibayar. Itu yang akan kami sampaikan ke kementerian,” ujar Baharuddin usai Rapat Dengar Pendapat di Gedung DPRD Kaltim, Kamis 12 Juni 2025.
Baharuddin memaparkan bahwa hambatan utama pembayaran ganti rugi muncul dari Surat Keputusan Menteri tahun 1981 yang menetapkan area tersebut sebagai Area Penggunaan Lain (APL). Status itu menjadikan Dinas PUPR tidak memiliki dasar hukum untuk menyalurkan pembayaran kepada masyarakat meskipun lahan sudah lama dimanfaatkan warga.
Ia juga menyoroti bahwa saat ini, banyak lahan yang bersengketa justru telah digunakan oleh perusahaan swasta untuk pembangunan pergudangan, perumahan, bahkan pertambangan. Menurutnya, situasi ini sangat kontras dengan nasib masyarakat pemilik lahan yang masih belum mendapat kompensasi.
“Kenapa mereka bisa enak-enak bekerja di atas lahan itu, sementara tanah milik rakyat tidak bisa dibayar,” katanya.
Kepala Dinas PUPR Kaltim, Muhammad Aji Fitra Firnanda, menyatakan bahwa proses pembayaran memang belum bisa dilakukan untuk seluruh bidang tanah karena aspek hukum belum terpenuhi. Ia menjelaskan, sebagian lahan telah dibayar berdasarkan pengajuan pada 2023, namun masih banyak bidang yang belum diajukan secara lengkap.
“Pada 2023 kemarin, kita membayar sesuai pengajuan dari masyarakat. Surat-surat mereka lengkap. Tapi tidak semua lahan diajukan waktu itu, sebagian baru menyusul di 2024,” jelasnya.
Dari total 7,6 kilometer lahan yang diajukan, sekitar 9 bidang berada dalam kawasan APL dan tercatat sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL), sehingga dianggap sebagai aset negara. Ini membuat Kementerian Perhubungan menolak permintaan pembayaran.
“Karena status lahannya seperti itu, dari Kementerian Perhubungan, kami tidak bisa melakukan pembayaran,” tambahnya.
Nanda menegaskan bahwa pihaknya hanya akan melakukan pembayaran jika ada kejelasan hukum dan administrasi yang sah. Oleh sebab itu, Komisi I DPRD Kaltim mendorong Pemprov Kaltim agar segera mengajukan permohonan resmi ke pemerintah pusat guna memperoleh kejelasan hukum atas tanah yang disengketakan.
Masalah ini menjadi sorotan penting di tengah pesatnya pembangunan Samarinda. Jika tak segera diatasi, bukan hanya mencederai rasa keadilan masyarakat, tetapi juga bisa memperkeruh kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.

 
		
 
									 
					
