Jakarta – Peringatan Hari Batik Nasional tahun ini kembali mengingatkan publik bahwa batik klasik bukan sekadar karya seni rupa di atas kain. Lebih dari itu, batik adalah bahasa budaya yang merekam perjalanan hidup manusia sejak kelahiran hingga kematian.
Unggahan resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kamis (2/10/2025) menyoroti betapa setiap motif batik memiliki makna filosofis yang dalam, mulai dari doa, harapan, hingga simbol-simbol kehidupan.
Dalam tradisi Jawa, batik klasik dipakai dalam berbagai upacara daur hidup. Mulai dari tingkeban atau tujuh bulanan bagi ibu hamil, pernikahan, hingga upacara kematian. Setiap motif yang dipilih bukanlah kebetulan, melainkan sarat doa dan makna. Motif Sawat Manak hingga Sidoasih kerap dikenakan oleh ibu hamil sebagai simbol keselamatan bagi janin. Sementara dalam pernikahan, motif Sido Mukti atau Truntum dipercaya membawa doa bagi pasangan agar hidup bahagia, penuh cinta, dan tercukupi rezekinya.
“Batik klasik bukan sekadar kain bergambar. Ia adalah warisan luhur yang dibuat secara manual dengan malam, canting, tungku, dan lilin dari proses panjang yang sarat makna,” ujar Yustina Hastrini N., peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN.
Ia menambahkan, dalam setiap garis dan titik pada motif batik tersimpan doa dan filosofi yang diwariskan turun-temurun. Bagi masyarakat Jawa, batik bukan hanya hiasan tubuh, tetapi juga doa yang menyertai manusia sejak lahir hingga akhir hayat. Bahkan dalam prosesi kematian, batik motif Slobog, Kampuh, atau Parang Rusak kerap digunakan untuk menyelimuti jenazah sebagai simbol penghormatan terakhir.
Batik yang dahulu hanya dikenakan di lingkungan keraton Surakarta dan Yogyakarta, kini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat luas. Pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia sejak 2 Oktober 2009 semakin memperkokoh posisinya sebagai simbol identitas nasional Indonesia.
Melalui peringatan Hari Batik Nasional, BRIN mengajak masyarakat untuk tidak sekadar memandang batik sebagai busana, melainkan juga memahami filosofi sakral yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu, batik akan tetap lestari bukan hanya sebagai mode, tetapi juga sebagai warisan nilai kehidupan yang tak lekang oleh waktu.
