Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga mengumumkan siapa saja pihak yang akan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi distribusi kuota haji tahun 2023–2024. Meski penyidikan telah berlangsung berbulan-bulan, lembaga antirasuah itu masih berlindung di balik alasan “pendalaman”.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan bahwa penyidik masih melakukan pemeriksaan terhadap berbagai pihak, termasuk Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Ia menyoroti temuan yang mengindikasikan adanya penyelenggara haji khusus tanpa izin resmi, namun tetap bisa memberangkatkan jemaah.
“Dalam penyelenggaraan ibadah haji ini ditemukan sejumlah PIHK yang belum punya izin, tapi tetap melaksanakan pemberangkatan jemaah,” ujar Budi kepada wartawan di Jakarta, dikutip Sabtu (22/11/2025).
Menurut Budi, hal ini berkaitan langsung dengan dugaan praktik jual beli kuota haji. KPK mendalami alur distribusi kuota, baik kepada calon jemaah maupun antar biro perjalanan. Kuota yang seharusnya dikelola resmi justru diperdagangkan di bawah tangan.
“Kami telusuri dari mana PIHK tanpa izin ini mendapat kuota. Dugaan sementara, mereka membelinya dari PIHK yang memiliki alokasi resmi,” tambahnya.
Sejalan dengan penyidikan, KPK juga menyita sejumlah aset yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi. Di antaranya, satu rumah di Jabodetabek, satu unit Mazda CX-3, dan dua motor jenis Vespa dan Honda PCX. Penyitaan ini menjadi langkah awal dari upaya pemulihan kerugian negara.
“Diduga aset-aset itu dibeli dari hasil korupsi penyelenggaraan ibadah haji. Ini bagian dari penyidikan dan asset recovery,” jelas Budi lagi.
Kasus ini mencuat setelah adanya tambahan 20.000 kuota haji tahun 2024 hasil lobi diplomatik Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi. Tambahan itu menjadikan total kuota Indonesia 241.000 jemaah, dengan pembagian 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus. Padahal, menurut UU, kuota haji khusus maksimal hanya 8 persen.
Akibat kebijakan tersebut, sekitar 8.400 jemaah haji reguler gagal berangkat, meski telah menunggu lebih dari 14 tahun. KPK menyebut kerugian negara dari praktik ini bisa mencapai Rp1 triliun.
Hingga kini, belum ada satu pun pihak yang dijadikan tersangka. KPK baru mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, mantan Staf Khusus Ishfah Abidal Aziz, dan pemilik biro haji Maktour Fuad Hasan Masyhur. Ketiganya masih berstatus sebagai saksi.
Sementara publik terus menanti kejelasan, KPK beralasan masih mengumpulkan bukti dan memerlukan waktu. Sikap ini memicu kritik bahwa lembaga antikorupsi kini terlalu berhati-hati, bahkan cenderung lamban.
Dengan skandal yang menyangkut ibadah suci dan kepercayaan masyarakat luas, kecepatan dan ketegasan KPK menjadi ujian besar integritas penegakan hukum saat ini.
