Samarinda – Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Sapto Setyo Pramono menanggapi polemik penanganan banjir di kawasan Loa Bakung Kemuning, Kota Samarinda. Menurutnya, solusi atas bencana tahunan tersebut kerap terhambat oleh sikap tidak kooperatif sebagian warga yang tinggal di bantaran Sungai Loa Bakung.
Persoalan banjir yang terus berulang di Loa Bakung sejatinya telah dipetakan dan direncanakan penanganannya oleh pemerintah. Namun, Sapto menilai bahwa implementasi solusi teknis seperti pengerukan dan normalisasi sungai justru tersendat akibat permintaan kompensasi yang dinilainya tidak masuk akal dari sejumlah warga yang terdampak.
“Ada banyak rumah. Ada yang memang meminta pergantian yang tidak wajar. Nah ini pemerintah mau perbaiki tetapi menjadi repot juga,” ujar Sapto, Jumat 4 Juli 2025.
Ia menjelaskan bahwa tanpa dukungan warga, proses pengerukan sungai yang krusial untuk kelancaran aliran air menjadi sulit dilakukan. Akibatnya, genangan air terus terjadi setiap musim hujan dan upaya mitigasi banjir kehilangan efektivitasnya.
Sapto menegaskan bahwa penanganan banjir bukan semata urusan teknis, tetapi juga membutuhkan kesadaran kolektif masyarakat untuk ikut terlibat dalam solusi jangka panjang.
“Saya coba membantu mendorong, tapi jangan salahkan di pemerintahan terus. Memang mungkin ada yang belum maksimal, tetapi jangan semuanya disalahkan terus,” ungkapnya.
Menurutnya, pendekatan represif bukanlah pilihan. Pemerintah dan warga perlu membangun komunikasi terbuka, saling memahami kepentingan, dan mencari solusi dengan semangat gotong royong.
Ia menambahkan, pemukiman liar di bantaran sungai bukan hanya mempersempit ruang air, tetapi juga menciptakan risiko keselamatan bagi penghuninya. Tanpa relokasi yang dirancang dengan baik, wilayah tersebut akan terus menjadi langganan banjir dan berdampak lebih luas ke kawasan permukiman lainnya.
“Banjir di Loa Bakung ini sudah menjadi masalah jangka panjang. Kalau tidak ada penataan pemukiman dan kesediaan warga untuk relokasi, sungai akan tetap tersumbat,” tegasnya.
Sapto menyarankan agar pemerintah membuka ruang dialog lebih besar dengan warga, termasuk menjelaskan urgensi proyek normalisasi serta manfaat jangka panjangnya bagi masyarakat secara keseluruhan.
Ia menekankan bahwa warga seharusnya melihat proses relokasi dan penataan wilayah bukan sebagai kerugian, melainkan peluang untuk membangun lingkungan yang lebih layak dan tahan bencana.
“Saya berharap masyarakat lebih terbuka berdialog dan menerima langkah-langkah penataan. Karena keberhasilan penanganan banjir tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif warga,” pungkas Sapto.
