Samarinda – Sekretaris Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Salehuddin menyuarakan keprihatinan terhadap kasus pembunuhan tragis yang menimpa Rusel (60) di Desa Muara Kate, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser. Peristiwa yang terjadi, Jumat 15 November 2024 itu hingga kini belum membuahkan penetapan tersangka, menciptakan gelombang keresahan di tengah masyarakat lokal.
Kasus bermula saat Rusel bersama seorang rekannya, Ansouka (55), tengah berjaga di pos pemantauan aktivitas tambang pada malam hari. Serangan tiba-tiba menyebabkan Rusel tewas dengan luka bacok, sedangkan Ansouka mengalami luka berat. Lokasi kejadian berada di area rumah dua lantai yang selama ini dijadikan warga sebagai titik kontrol terhadap aktivitas perusahaan tambang yang beroperasi di sekitar permukiman.
Desakan kepada kepolisian untuk bertindak lebih cepat dilontarkan menyusul minimnya progres selama delapan bulan terakhir. Salehuddin menilai penanganan perkara ini seolah stagnan dan kehilangan urgensi, padahal menyangkut hilangnya nyawa warga dan keamanan masyarakat luas.
“Kami paham konteks wilayah ini cukup sensitif karena aktivitas korporasi. Tapi jangan sampai ada kesan pembiaran hukum karena tekanan kekuasaan atau bisnis,” ujar Salehuddin, Senin 23 Juni 2025, menekankan pentingnya keberanian institusi penegak hukum dalam menangani kasus yang menyentuh konflik agraria dan pertambangan.
Ia menyoroti bahwa kehadiran Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke lokasi kejadian pada 14 Juni 2025 semestinya tidak berhenti pada tataran simbolik. Kunjungan itu harus ditindaklanjuti dengan percepatan penegakan hukum sebagai wujud kehadiran negara di tengah konflik horizontal yang kian mengancam kohesi sosial warga desa.
“Jika negara lambat melindungi rakyatnya, kepercayaan publik bisa runtuh. Kami tidak ingin itu terjadi di Kalimantan Timur,” tegasnya.
Tak hanya menyentil stagnasi pengusutan kasus, DPRD juga menyoroti problem tata kelola pertambangan yang amburadul. Salehuddin secara khusus menekankan persoalan lalu lintas truk tambang di jalan umum yang memicu kerusakan infrastruktur serta ketegangan sosial antara warga dan pihak perusahaan.
“Penggunaan jalan negara oleh kendaraan perusahaan yang overload tanpa pengawasan itu tidak hanya melanggar aturan, tapi juga menambah potensi konflik,” katanya.
Sebagai langkah konkret, ia mendukung kebijakan Gubernur Kaltim terkait pembatasan waktu operasional truk tambang. Namun, menurutnya, solusi jangka pendek seperti pengaturan shift malam tidak boleh menutup tujuan jangka panjang, yakni menghentikan sepenuhnya aktivitas hauling di jalan umum.
“Shift malam boleh jadi pengurang risiko, tapi target akhirnya harus jelas: tidak ada lagi hauling di jalan umum. Itu bentuk keadilan bagi warga,” pungkas Salehuddin.

 
		
 
									 
					
